Oleh: Hamengku Buwono X
Alasan Filosofis
Pada waktu sebelum kelahiran Republik Indonesia ada sebanyak 250 (dua ratus lima puluh rechtsgemeenschappen (masyarakat hukum adat) yang masing-masing memiliki otonomi yang sangat luas, termasuk Negeri Ngayogyakarta dan Pakualaman. Kedua daerah ini dalam bahasa Belanda disebut vorstenlanden atau Kerajaan. Masyarakat hukum adat semacam ini diikat secara politik oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan korte verklaring (kontrak jangka pendek) dan lange contracten (kontrak jangka panjang).
Pada waktu itu Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman telah mempunyai dasar hukum atau koninklijk besluit dari Ratu Wilhelmina sebagai daerah yang berdaulat, sehingga secara hukum internasional kedudukannya sama dengan sebuah negara, sehingga pada waktu RIS, Belanda tidak dapat masuk ke Yogyakarta, dan oleh karenanya Yogyakarta dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia, karena secara hukum internasional kedaulatan Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memang dihormati. Pengakuan (recognition) dan penghormatan (respectation) tidak saja menjadi keniscayaan sejarah dan konstitusi, melainkan merupakan fakta politis dan empiris yang tidak mudah dihapuskan oleh kondisi zaman yang berubah.
Sebagai negara yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, Indonesia pada waktu itu sangat membutuhkan pengakuan dari negara lain sehingga keputusan bergabungnya Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman memiliki arti sangat penting bagi Indonesia karena telah memberikan wilayah dan penduduknya secara kongkrit hagi Indonesia.
Analogi penggabungan kedua negara tersebut yang kemudian sering dikenal dengan istilah Ijab Kabul, dimana ada pihak yang menyerahkan dan ada pihak yang menerima selanjutnya diberikan mahar atau mas kawin sebagai daerah setingkat provinsi yang bersifat istimewa. Dalam hal ini Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam Vlll mewakili Negari Ngayogyakarta dan Pakualaman, dipihak lain Soekarno mewakili Republik lndonesia, sehingga tidak bisa begitu saja menafikkan daya ijab qabul yang telah disepakati bersama tersebut.
Dalam perspektif hukum internasional perjanjian kedua negara tersebut biasa dikenal sebagai bilateral treaties. Asas hukum pacta sunt servanda menyatakan bahwa setiap perjanjian mengikat dan wajib dipatuhi serta dihormati oleh kedua belah pihak selama keduanya belum membatalkan kesepakatan dimaksud.
Setelah bergabung dengan Republik Indonesia.praktis penyelenggaraan pemerintahannya mengikuti sistem yang dianut oleh Republik Indonesia kecuali dalam hal mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang tidak terikat syarat, cara pengangkatan dan masa jabatan sebagaimana daerah lainnya. Kepemimpinan di DIY bersifat ascribed status (turun-temurun), inilah yang menjadi ruh keistimewaan DIY, oleh karenanya penyelenggaraan pemerintahan di DIY tidak dapat disebut monarchy, karena Raja telah menjelma menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur dengan kekuasaan yang sangat terbatas sebagaimana diatur di dalam UU No 32 tahun 2004, disamping itu keluarga Raja tidak mempunyai hak-hak khusus atau istimnewa di dalam pemerintahan.
————
*Bersambung ke postingan berikutnya. Matur nuwun.
Tinggalkan komentar